goresan cerpen
BRUKK !!
“Aaargh…!” seorang cowok di ujung gang itu terjatuh setelah terkena bogem mentah dari cowok lain bersama teman-temannya yang mengelilingi cowok malang itu. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Segera aku bersembunyi di balik tiang listrik di pinggir gang itu. Rasa takut menjalar diseluruh tubuhku. Namun rasa penasaranku ternyata lebih berkuasa. Ku perhatikan segerombolan anak muda disana. Setelah puas menghajar cowok malang itu dan mengucapkan sesuatu padanya, gerombolan anak kasar itu sepertinya akan beranjak pergi. Aku segera memepetkan tubuhku ke pintu toko yang telah tutup. Untunglah tubuhku kecil, sehingga mereka tidak melihatku dari balik tembok. Setelah keadaan sepi, aku keluar dari tempat persembunyianku.
Cowok malang yang tadi dipukuli, terlihat berusaha berjalan merambat pada tembok. Dengan takut-takut aku mendekatinya, mencoba membantu.
“Beni . . . ,” ucapku perlahan saat sinar lampu menerpa cowok itu. Wajah nya memang penuh dengan memar, tapi setelah dekat, aku masih tetap bisa mengenali wajah itu. Yang dipanggil Cuma nyengir menahan rasa sakit.
Aku lalu membawa beni ke warung bu Leha. Bukan karena tidak mau mengantarkannya pulang, tapi karena beni bilang, dia takut ibunya akan cemas bila melihatnya pulang dalam keadaan babak belur begini. Agak aneh juga menurutku. Beni yang notabennya dianggep cowok brandal disekolah, ternyata bisa memperdulikan perasaan orangtuanya.
“Bu, minta air dingin buat ngompres sama teh manisnya satu ya“ ucapku sembari mendudukan Beni. Lalu aku mengeluarkan tissue dan plester luka kecil yang selalu ada di dalam tasku. Tak lama kemudian bu Leha menyodorkan sebaskom kecil air dingin kemudian menyiapkan segelas teh manis yang diminta. Aku mencelupkan tissue ke dalam air dingin itu lalu mengompreskannya ke memar Beni perlahan.
“A . . au . .” desis Beni.
“Sorry . . sorry . ., sakit ya? Maaf.”
“Ngga pa pa. Kamu ngapain malem-malen disini, Lit?” Tanya Beni.
“Kebetulan dari pagi ampa malem aku kerja paruh waktu di dealer pak Wayan, dan aku baru pulang jam seini. Karena rumahku gak begitu jauh aku jalan kaki.” Ingin aku bertanya kenapa beni bisa dipukuli seperti tadi, tapi takut tersinggung, aku urungkan niatku.
“Sialan itu orang beraninya kroyokan. Mereka yang cari gara-gara duluan, dibales malah mbales kroyokan gini, Dasar pengecut!” cerocos Beni tanpa diminta. Aku terdiam sambil kemudian memakaikan plester ke lukanya.
***
Keesokan harinya, di Sekolah aku melihat Beni sudah tampak baikan dan malah terlihat sibuk menceritakan kejadian tadi malam pada anak-anak cowok lain di kelasku. Apa sih yang bisa dibanggakan dari dipukuli orang, sampai harus diceritakan ke orang lain segala? Batinku. Tiba-tiba aku teringat saat dimana Beni menceritakan tak ingin pulang karena takut Ibunya akan cemas melihatnnya babk belur, sampai-sampai ia memutuskan pulang larut malam, agar sesampainya di rumah, ibunya sudah tidur. Saat itu Beni benar-benar terlihat lain dari beni yang selama ini aku kenal. Beni yang usil, nakal,dan celenge’an. Aku jadi penasaran terhadap diri Beni yang sebanarnya. Akupun mencari Sita, temen Beni sejak TK.
Dari Sita aku tau beberapa hal. Ternyata Beni adalah anak ke-dua dari tiga bersaudara yang kesemuannya cowok, kakak Beni, Mas Dana, ternyata jauh lebih nakal dari Beni. Dia bahkan sempat pindah-pindah Sekolah saat SMA dulu. Di antara mereka bertiga, hanya Doni si anak bungsu yang paling waras. Meski tidak tergolong cerdas, tapi Doni bisa bertahan di SMP favorit sampai sekarang.
Ibu Beni bekerja sebagai pegawai sebuah ikatan dinas dalam bidang agraris. Ayah doni seorang pelaut yang pulang ke rumah beberapa bulan sekali. Beni sangat saying pada Ibunya meski Ia jarang sekali punya waktu untuknya. Beni sebenarnya tidak ingin melihat ibunya kecewa. Oleh karena itu, dia bisa duduk denganku di sekolah favorit ini aku sangat yakin bahwa sebenarnya Beni itu anak baik hanya saja dia salah pergaulan. Diam-diam aku menaruh empati padanya dan beniat menolongnya agar tidak terjerumus lebih jauh.
Dari Sita juga aku tau pacar Beni bernama Desya, seorang model catwalk yang cukup tekenal, pergaulannya juga dinilai negative dimata teman-temanya. Akupun mulai strategi untuk menyadarkan Beni.
“Arnelita, pinjem PR Bahasa Inggrisnya dong? Dah ke pepet nih?” Pinta Beni Suatu pagi. Aku belum menjawab. Sebuah rencana mengalir dikepalaku.
“Ayolah, kali ini saja, jam pertama nih. Sekali-kali, pinter bagi-bagi donk.”
Aku lalu mengangguk dan menyodorkan buku PR ku ke hadapan Beni. Beni dan teman-tamanya sempet bangong melihat perubahan sikapku. Aku hannya tersenyum.
“Besok ada PR matematik kamu mau pinjem punyaku lagi ngga?”
Beni bengong sesaat. “ I iya lah . . mau . . mau!”
“Sstt . . jangan keras-keras. Ini kusus buat kamu, coz kamu udah berhasil membawa nama kelas kita di lomba kemaran. Tapi ada syaratnya, besok kamu harus dateng pagi-pag, biar temen yang lain ga tau.”
“iya deh besok, janji ya!” suara Beni memelan.
Keesokan paginnya, aku memeng berangkat lebih pagi. Aku juga telah membawa buku PR Matematika ku. Agak gugup juga rasanya, karena aku harus menghilangkan rasa antipatiku terhadap anak semacam Beni. Tapi demi kebaikan aku rela deh.
Tak lama setelah aku duduk di kelas, Beni dating. Aku sudah membukakan PR ku di atas meja. Dan menyalin sepuluh nomor PR model soal pilihan ganda ke dalam bukunya.
“nggak takut ntar di tanya jawabanya Ben?” tanyaku saat Beni sedang sibuk menyalin PR ku.
“Mang suruh pake caranya ya?”
“BIasanya sih pak Guru pake.”
“Kalo begitu, Caranya mana Lin?”
“Di oret-oretan je, em . . Gimana kalo sekarang aku ajarin caranya bentar, terus kamu salin deh, siapa tau nar kamu disuruh maju?”
“Ya udah, deh yang ini caranya gimana?”
Jadilah pagi hari itu Beni les kilat denganku. Rencana Pertamaku berhasil. Sekarang tiap ada PR yang dia tidak bisa aku selalu membantunya, secara tidak langsung dia sedikit mempelajari materi yang akan disampaikan gurunya.
Hal itu terus berlanjut sampai suatu hari, Beni tampak kesulitan memehami penjelasan singkatku. Soal Fisika ini memeng rumit, aku saja harus berkali-kali bertanya pada guruku.
“U . . Udah Lit lah . . Aky gak bakalan Bisa. Dari tadi aku gak mudeng-mudeng.” Pasrah Beni, saat teman-teman yang lain mulai berdatangan.
Aku bingung bagaimana cara membujuknya agar tidak menyerah. Aku lalu menyentuh tangannya.
“Ayolah Ben. Aku yakin kamu pasti Bisa. Em . .Gini aja, sekarang kamu belum bisa, gimana kalo ntar pulang sekolah, Kita belajar bareng?” Ajak ku.
“Meski tampak Ogah-ogahan, Beni pun mengangguk setuju.
###
Sebubar sekolah, aku dan Beni tetap berada di Kelas. Kami memulai kegiatan belajar bersama. Satu jam Berlalu, Handphone Beni berputar.
“ya, Des . . . iya ,iya. Ntar sore deh. Aku sekarang masih di Skull . . . hem, Engak-enggak, aku gak boong beneran say, beneran . . . Des, Desya . . . ? haloo?” sepertinya terputus.
“Desys marah ya, Ben? Kamu ada janji ama Dia?”
“ga ko lit, bukan gara-gara kamu ko. Dia emang begitu orangnya. Dia tu . . apa ya . . Egois, . . ., . . .,” Beni malah bercerita panjang lebar.
Aku samasekali tidak percaya, bahwa aku sudah sedekat ini dengan dia. Sampai-sampai dia percaya menceritakan masalah pribadinya padaku. Aku mendengarkan curhatnya. Terkadang aku memberi saran sebisaku.
Kami pun jadi belajar bersama. Baik di sekolah, di rumahku, atou di rumah teman kami yang lain. Aku bahkan mengajak Beni masuk Bimbel bersamaku. Sat semester pun berlalu. Tes kenaikan kelas sudah dilaksanakan. Nilai-nilai Beni menjadi cukup amazing. Dia bahkan masuk sepuluh besar dikelasnya.
Pulang sekolah, akupun di bonceng oleh Beni ke Caffe Asik. Sesampainya di sana, aku celingukkan mencari teman-teman yang lain.
“yang lainnya mana ben?”
“Ga ada. Aku Cuma ngajak kamu. Kamu mau pesen apa?” Jawabnya enteng. Seraya duduk dan menyodorkan daftar menu.
Mendengar jawabannya, aku jadi grogi. Aku Cuma makan berdua sama Beni? Apa ini yang namanya nge-date?
Sambil menunggu pesanan datang, kami tediam.
“Ben, Desya gimana kabar?” tanyaku basa-basi.
“Ga tau tuh. Aku dah ga sama dia”.
“hah, kapan putusnya? Bukannya Desya tipe cewek idola. Dia kan top model!”
“Tapi nyebelin.” Beni lalu mengeluarkan sesuatu dari sakku celananya. Sebatng rokok. Dia lalu menyulutnya.
“Dsya itu cerewet banget. Minta dianterin ke salon lah, jalan-jalan lah, ke mall lah pokoknya ribet,” terang Beni sambil menghembuskan asap rokoknya.
Ugh aku paling benci asap rokok. Aku mencoba menahan batukku agar Beni tidak tersinggung sambil memikirkan cara agar beni berhenti merokok.
“kalo gitu, Desya ga cocok sama kamu ya, Ben. Menurutmu cewe ideal kaya apa sih?”
“Kaya Ibuku.” Matanya menerawang.
“Dia baik, cantik, ramah, dan penyayang.”lanjutnya.
“kamu saying sama dia?”
“”Banget, aku rela ngorbanin nyawaku buat dia. O ya makasih banget ya, Lit. karena kamu udah membuat aku ngga lagi jadi anak yang cuma bisa ngecewain ibuku.”
“Kamu bisa kok, jadi anak yang mampu ngebanggain Ibunya.” Ucapku sambil memandang ke bawah.
“Ngga mungknlah. BIsa kaya kemarin aja udah keajaiban buatku.” Jawab beni sambil mematikan abu rokok ke asbak lalu menghisapnya kembali.
“Itu bukan keajaiban. Kamu bisa kok . . .” pandangan ku beralih ke wajah Beni.
“ . . .Asal kamu mau berusaha ngga ngecewain Ibumu lagi.” Ujarku lembut sambil menarik puntung rokok dari bibir Beni dan mematikannya.
“Kamu sebenarnya anak baik, kamu punya kekuatan untuk berubah dan mengubah hidupmu. Ibumu pasti sedih kalo melihat anaknya merokok, berkelahi apalagi sampai mabuk-mabukan”
Beni termenung. Pelayan itu menghampiri kami dan menyajikan makanan. Setelah pelayan pergi, Beni masih tidak berkata apa-apa, sampai akhirnya . . .
“Arnelita, kamu bersedia terus berada di sampingku, menemaniku mengubah hidipku?” Tanya-nya sambil meraih tanganku.
Aku terhenyak. Aku terkejut dan bingung. Melihat ekspresi wajah ku, Beni menjadi murung.
“……………….”
“Iya, Ben. Aku bersedia.” Anggukku mantap. Kebersamaanku dengan Beni selama ini berhasil menyibak sisi lain dari Beni si brandal. Dan aku yakin, besok, lusa dan seterusnya, Beni akan menjadi lebih baik.
-the.end-
BRUKK !!
“Aaargh…!” seorang cowok di ujung gang itu terjatuh setelah terkena bogem mentah dari cowok lain bersama teman-temannya yang mengelilingi cowok malang itu. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat barusan. Segera aku bersembunyi di balik tiang listrik di pinggir gang itu. Rasa takut menjalar diseluruh tubuhku. Namun rasa penasaranku ternyata lebih berkuasa. Ku perhatikan segerombolan anak muda disana. Setelah puas menghajar cowok malang itu dan mengucapkan sesuatu padanya, gerombolan anak kasar itu sepertinya akan beranjak pergi. Aku segera memepetkan tubuhku ke pintu toko yang telah tutup. Untunglah tubuhku kecil, sehingga mereka tidak melihatku dari balik tembok. Setelah keadaan sepi, aku keluar dari tempat persembunyianku.
Cowok malang yang tadi dipukuli, terlihat berusaha berjalan merambat pada tembok. Dengan takut-takut aku mendekatinya, mencoba membantu.
“Beni . . . ,” ucapku perlahan saat sinar lampu menerpa cowok itu. Wajah nya memang penuh dengan memar, tapi setelah dekat, aku masih tetap bisa mengenali wajah itu. Yang dipanggil Cuma nyengir menahan rasa sakit.
Aku lalu membawa beni ke warung bu Leha. Bukan karena tidak mau mengantarkannya pulang, tapi karena beni bilang, dia takut ibunya akan cemas bila melihatnya pulang dalam keadaan babak belur begini. Agak aneh juga menurutku. Beni yang notabennya dianggep cowok brandal disekolah, ternyata bisa memperdulikan perasaan orangtuanya.
“Bu, minta air dingin buat ngompres sama teh manisnya satu ya“ ucapku sembari mendudukan Beni. Lalu aku mengeluarkan tissue dan plester luka kecil yang selalu ada di dalam tasku. Tak lama kemudian bu Leha menyodorkan sebaskom kecil air dingin kemudian menyiapkan segelas teh manis yang diminta. Aku mencelupkan tissue ke dalam air dingin itu lalu mengompreskannya ke memar Beni perlahan.
“A . . au . .” desis Beni.
“Sorry . . sorry . ., sakit ya? Maaf.”
“Ngga pa pa. Kamu ngapain malem-malen disini, Lit?” Tanya Beni.
“Kebetulan dari pagi ampa malem aku kerja paruh waktu di dealer pak Wayan, dan aku baru pulang jam seini. Karena rumahku gak begitu jauh aku jalan kaki.” Ingin aku bertanya kenapa beni bisa dipukuli seperti tadi, tapi takut tersinggung, aku urungkan niatku.
“Sialan itu orang beraninya kroyokan. Mereka yang cari gara-gara duluan, dibales malah mbales kroyokan gini, Dasar pengecut!” cerocos Beni tanpa diminta. Aku terdiam sambil kemudian memakaikan plester ke lukanya.
***
Keesokan harinya, di Sekolah aku melihat Beni sudah tampak baikan dan malah terlihat sibuk menceritakan kejadian tadi malam pada anak-anak cowok lain di kelasku. Apa sih yang bisa dibanggakan dari dipukuli orang, sampai harus diceritakan ke orang lain segala? Batinku. Tiba-tiba aku teringat saat dimana Beni menceritakan tak ingin pulang karena takut Ibunya akan cemas melihatnnya babk belur, sampai-sampai ia memutuskan pulang larut malam, agar sesampainya di rumah, ibunya sudah tidur. Saat itu Beni benar-benar terlihat lain dari beni yang selama ini aku kenal. Beni yang usil, nakal,dan celenge’an. Aku jadi penasaran terhadap diri Beni yang sebanarnya. Akupun mencari Sita, temen Beni sejak TK.
Dari Sita aku tau beberapa hal. Ternyata Beni adalah anak ke-dua dari tiga bersaudara yang kesemuannya cowok, kakak Beni, Mas Dana, ternyata jauh lebih nakal dari Beni. Dia bahkan sempat pindah-pindah Sekolah saat SMA dulu. Di antara mereka bertiga, hanya Doni si anak bungsu yang paling waras. Meski tidak tergolong cerdas, tapi Doni bisa bertahan di SMP favorit sampai sekarang.
Ibu Beni bekerja sebagai pegawai sebuah ikatan dinas dalam bidang agraris. Ayah doni seorang pelaut yang pulang ke rumah beberapa bulan sekali. Beni sangat saying pada Ibunya meski Ia jarang sekali punya waktu untuknya. Beni sebenarnya tidak ingin melihat ibunya kecewa. Oleh karena itu, dia bisa duduk denganku di sekolah favorit ini aku sangat yakin bahwa sebenarnya Beni itu anak baik hanya saja dia salah pergaulan. Diam-diam aku menaruh empati padanya dan beniat menolongnya agar tidak terjerumus lebih jauh.
Dari Sita juga aku tau pacar Beni bernama Desya, seorang model catwalk yang cukup tekenal, pergaulannya juga dinilai negative dimata teman-temanya. Akupun mulai strategi untuk menyadarkan Beni.
“Arnelita, pinjem PR Bahasa Inggrisnya dong? Dah ke pepet nih?” Pinta Beni Suatu pagi. Aku belum menjawab. Sebuah rencana mengalir dikepalaku.
“Ayolah, kali ini saja, jam pertama nih. Sekali-kali, pinter bagi-bagi donk.”
Aku lalu mengangguk dan menyodorkan buku PR ku ke hadapan Beni. Beni dan teman-tamanya sempet bangong melihat perubahan sikapku. Aku hannya tersenyum.
“Besok ada PR matematik kamu mau pinjem punyaku lagi ngga?”
Beni bengong sesaat. “ I iya lah . . mau . . mau!”
“Sstt . . jangan keras-keras. Ini kusus buat kamu, coz kamu udah berhasil membawa nama kelas kita di lomba kemaran. Tapi ada syaratnya, besok kamu harus dateng pagi-pag, biar temen yang lain ga tau.”
“iya deh besok, janji ya!” suara Beni memelan.
Keesokan paginnya, aku memeng berangkat lebih pagi. Aku juga telah membawa buku PR Matematika ku. Agak gugup juga rasanya, karena aku harus menghilangkan rasa antipatiku terhadap anak semacam Beni. Tapi demi kebaikan aku rela deh.
Tak lama setelah aku duduk di kelas, Beni dating. Aku sudah membukakan PR ku di atas meja. Dan menyalin sepuluh nomor PR model soal pilihan ganda ke dalam bukunya.
“nggak takut ntar di tanya jawabanya Ben?” tanyaku saat Beni sedang sibuk menyalin PR ku.
“Mang suruh pake caranya ya?”
“BIasanya sih pak Guru pake.”
“Kalo begitu, Caranya mana Lin?”
“Di oret-oretan je, em . . Gimana kalo sekarang aku ajarin caranya bentar, terus kamu salin deh, siapa tau nar kamu disuruh maju?”
“Ya udah, deh yang ini caranya gimana?”
Jadilah pagi hari itu Beni les kilat denganku. Rencana Pertamaku berhasil. Sekarang tiap ada PR yang dia tidak bisa aku selalu membantunya, secara tidak langsung dia sedikit mempelajari materi yang akan disampaikan gurunya.
Hal itu terus berlanjut sampai suatu hari, Beni tampak kesulitan memehami penjelasan singkatku. Soal Fisika ini memeng rumit, aku saja harus berkali-kali bertanya pada guruku.
“U . . Udah Lit lah . . Aky gak bakalan Bisa. Dari tadi aku gak mudeng-mudeng.” Pasrah Beni, saat teman-teman yang lain mulai berdatangan.
Aku bingung bagaimana cara membujuknya agar tidak menyerah. Aku lalu menyentuh tangannya.
“Ayolah Ben. Aku yakin kamu pasti Bisa. Em . .Gini aja, sekarang kamu belum bisa, gimana kalo ntar pulang sekolah, Kita belajar bareng?” Ajak ku.
“Meski tampak Ogah-ogahan, Beni pun mengangguk setuju.
###
Sebubar sekolah, aku dan Beni tetap berada di Kelas. Kami memulai kegiatan belajar bersama. Satu jam Berlalu, Handphone Beni berputar.
“ya, Des . . . iya ,iya. Ntar sore deh. Aku sekarang masih di Skull . . . hem, Engak-enggak, aku gak boong beneran say, beneran . . . Des, Desya . . . ? haloo?” sepertinya terputus.
“Desys marah ya, Ben? Kamu ada janji ama Dia?”
“ga ko lit, bukan gara-gara kamu ko. Dia emang begitu orangnya. Dia tu . . apa ya . . Egois, . . ., . . .,” Beni malah bercerita panjang lebar.
Aku samasekali tidak percaya, bahwa aku sudah sedekat ini dengan dia. Sampai-sampai dia percaya menceritakan masalah pribadinya padaku. Aku mendengarkan curhatnya. Terkadang aku memberi saran sebisaku.
Kami pun jadi belajar bersama. Baik di sekolah, di rumahku, atou di rumah teman kami yang lain. Aku bahkan mengajak Beni masuk Bimbel bersamaku. Sat semester pun berlalu. Tes kenaikan kelas sudah dilaksanakan. Nilai-nilai Beni menjadi cukup amazing. Dia bahkan masuk sepuluh besar dikelasnya.
Pulang sekolah, akupun di bonceng oleh Beni ke Caffe Asik. Sesampainya di sana, aku celingukkan mencari teman-teman yang lain.
“yang lainnya mana ben?”
“Ga ada. Aku Cuma ngajak kamu. Kamu mau pesen apa?” Jawabnya enteng. Seraya duduk dan menyodorkan daftar menu.
Mendengar jawabannya, aku jadi grogi. Aku Cuma makan berdua sama Beni? Apa ini yang namanya nge-date?
Sambil menunggu pesanan datang, kami tediam.
“Ben, Desya gimana kabar?” tanyaku basa-basi.
“Ga tau tuh. Aku dah ga sama dia”.
“hah, kapan putusnya? Bukannya Desya tipe cewek idola. Dia kan top model!”
“Tapi nyebelin.” Beni lalu mengeluarkan sesuatu dari sakku celananya. Sebatng rokok. Dia lalu menyulutnya.
“Dsya itu cerewet banget. Minta dianterin ke salon lah, jalan-jalan lah, ke mall lah pokoknya ribet,” terang Beni sambil menghembuskan asap rokoknya.
Ugh aku paling benci asap rokok. Aku mencoba menahan batukku agar Beni tidak tersinggung sambil memikirkan cara agar beni berhenti merokok.
“kalo gitu, Desya ga cocok sama kamu ya, Ben. Menurutmu cewe ideal kaya apa sih?”
“Kaya Ibuku.” Matanya menerawang.
“Dia baik, cantik, ramah, dan penyayang.”lanjutnya.
“kamu saying sama dia?”
“”Banget, aku rela ngorbanin nyawaku buat dia. O ya makasih banget ya, Lit. karena kamu udah membuat aku ngga lagi jadi anak yang cuma bisa ngecewain ibuku.”
“Kamu bisa kok, jadi anak yang mampu ngebanggain Ibunya.” Ucapku sambil memandang ke bawah.
“Ngga mungknlah. BIsa kaya kemarin aja udah keajaiban buatku.” Jawab beni sambil mematikan abu rokok ke asbak lalu menghisapnya kembali.
“Itu bukan keajaiban. Kamu bisa kok . . .” pandangan ku beralih ke wajah Beni.
“ . . .Asal kamu mau berusaha ngga ngecewain Ibumu lagi.” Ujarku lembut sambil menarik puntung rokok dari bibir Beni dan mematikannya.
“Kamu sebenarnya anak baik, kamu punya kekuatan untuk berubah dan mengubah hidupmu. Ibumu pasti sedih kalo melihat anaknya merokok, berkelahi apalagi sampai mabuk-mabukan”
Beni termenung. Pelayan itu menghampiri kami dan menyajikan makanan. Setelah pelayan pergi, Beni masih tidak berkata apa-apa, sampai akhirnya . . .
“Arnelita, kamu bersedia terus berada di sampingku, menemaniku mengubah hidipku?” Tanya-nya sambil meraih tanganku.
Aku terhenyak. Aku terkejut dan bingung. Melihat ekspresi wajah ku, Beni menjadi murung.
“……………….”
“Iya, Ben. Aku bersedia.” Anggukku mantap. Kebersamaanku dengan Beni selama ini berhasil menyibak sisi lain dari Beni si brandal. Dan aku yakin, besok, lusa dan seterusnya, Beni akan menjadi lebih baik.
-the.end-
Komentar